MAJENE, TARGETTUNTAS.ID — Setiap tanggal 28 Oktober, gema tiga kata sakral “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” kembali menggema di seluruh nusantara.
Ikrar yang diucapkan para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 melalui kongres pemuda bukan sekadar ritual kebangsaan, melainkan pondasi nilai persatuan yang sejatinya harus hidup termasuk dalam dunia pendidikan kita.
Kini, di peringatan 2025 ini, menarik napas dan menoleh ke ruang-kelas kita, kita harus bertanya: bagaimana realitas semangat itu di ruang-kelas kita? Apakah hanya menjadi simbol, atau benar-benar diterjemahkan ke dalam praktek pendidikan sehari-hari?
Niat Para Tokoh dan Makna Persatuan
Pada Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta (dua hari, 27-28 Oktober 1928), pemuda dari berbagai daerah, suku, agama, dan organisasi berkumpul untuk menyusun satu visi kebangsaan bersama.
Tokoh-tokoh seperti Soegondo Djojopoespito bertindak sebagai ketua kongres yang membacakan naskah, dan Mohammad Yamin memberi perumusan konkret pada bait ketiga: “Bahasa persatuan Indonesia adalah Bahasa Indonesia”.
Pemikir lainnya seperti Ki Sarmidi Mangunsarkoro turut aktif dalam merumuskan kerangka pemikiran pendidikan, persatuan, dan kebangsaan.
Niat mereka tak hanya mengusung kemerdekaan dari penjajahan, tapi juga menyatukan keragaman dari pemuda Jawa, Sumatra, Ambon, Sulawesi hingga para pelajar di kota-kota besar dan kecil ke dalam satu bangsa. Nilai persatuan ini memuat pengakuan atas “tanah air yang satu”, “bangsa yang satu”, dan “bahasa persatuan yang satu”.
Dalam konteks pendidikan, makna ini sangat jelas: ruang kelas atau sekolah harus menjadi arena di mana keragaman diterima, perbedaan suku-agama dijembatani, dan proses pembelajaran memupuk rasa kebersamaan, bukan memecah belah.
Persatuan harus menjadi pengalaman hidup bagi anak didik, bukan hanya slogan.
Pendidikan Kita: Saatnya Refleksi Nyata
Namun, jika kita menoleh ke kondisi sekarang, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan kita belum selalu mencerminkan semangat persatuan tadi, bahkan ada kecenderungan menjauh darinya.
Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 tercatat lebih dari 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah, sebuah lonjakan dramatis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dari jumlah itu, sekitar 31 % merupakan kasus perundungan atau bullying. Di satu sekolah inklusi di Kota Depok misalnya, seorang siswa berkebutuhan khusus yang berada di jalur inklusi diduga menjadi korban bullying oleh kakak kelas hingga luka parah dan trauma berat; korban bahkan memecahkan kaca kelas dalam keputusasaan karena tak mampu membalas.
Di lain sisi, fenomena kekerasan tidak hanya dilakukan oleh sesama siswa: di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga menampar murid yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah, insiden ini memicu mogok massal dari ratusan siswa dan laporan resmi orang tua ke polisi.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa ruang kelas dan institusi sekolah yang seharusnya menjadi “rumah bersama” untuk seluruh anak bangsa, masa kini justru menyaksikan fragmentasi, permusuhan, dan rasa asing di antara sesama siswa atau antara siswa, guru, dan orang tua.
Bila ruang pendidikan tidak menjadi ruang persatuan, maka kita telah menyimpang dari semangat Sumpah Pemuda.
Menghidupkan Kembali Nilai Persatuan dalam Pendidikan Sehari-hari
Untuk menata ulang sistem dan praktik pendidikan agar semangat persatuan bukan sekadar teori di atas kertas, diperlukan langkah-langkah konkret yang menerjemahkan nilai ke dalam aktivitas nyata.
Sekolah harus menyelenggarakan kegiatan yang menjembatani keragaman, misalnya pertukaran pelajar antar daerah, proyek budaya bersama siswa dari berbagai latar suku/agama, maupun dialog lintas identitas, dengan demikian “satu bangsa” bukan hanya identitas nasional yang abstrak, tetapi pengalaman nyata siswa saat berinteraksi, bekerja sama, dan belajar bersama teman dari seluruh penjuru negeri.
Selain itu, guru dan tenaga pendidik perlu mendapatkan pelatihan khusus yang saya sebut sebagai “pelatihan guru inklusif”: bagaimana mengelola keberagaman dalam kelas, memfasilitasi dialog antar-siswa dari latar belakang berbeda, menjadi mediator konflik budaya dan teladan yang aktif mempraktikkan nilai persatuan, karena tanpa guru yang memahami dan menghidupi nilai ini, pendidikan karakter akan tetap kosong makna dan realisasi.
Tak kalah penting adalah monitoring bullying dan inklusi secara sistemik misalnya pencegahan terhadap bullying, kekerasan, dan diskriminasi di sekolah harus diperlakukan sebagai tugas semua pihak, sekolah harus memiliki protokol pengaduan yang jelas, monitoring rutin, serta evaluasi keberhasilan program inklusi agar sekolah menjadi ruang aman dan inklusif. Dengan kata lain, persatuan harus dijabarkan dalam program dan aktivitas konkrit, bukan hanya slogan di banner.
Pada hari peringatan Sumpah Pemuda kali ini, sekolah-sekolah dan institusi pendidikan punya kesempatan emas untuk berhenti sejenak dan merenung: Apakah kita masih hidup dalam semangat “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”? Atau justru kita membiarkan ruang-kelas menjadi arena fragmentasi, kompetisi tanpa makna persatuan, tekanan sosial vertikal yang menumbuhkan rasa asing di antara sesama siswa?.
Peringatan ini harus menjadi lebih dari sekadar upacara kebangsaan dan pembacaan ikrar, ia harus menjadi momen perubahan. Bukan hanya mengingatkan “apa yang dulu diperjuangkan”, tetapi juga “apa yang saat ini harus diwujudkan” dan “bagaimana satu langkah ke depan kita menegakkan nilai persatuan itu”.
Dari teori ke aplikasi
Persatuan bukan hanya kata, tapi aplikasi. Bila sekolah tetap membiarkan bullying terjadi, siswa tetap tersegmentasi berdasarkan suku dan agama, guru dan orang tua bersikap pasif terhadap konflik, maka semangat Sumpah Pemuda akan tetap menjadi ideologi kosong.
Namun, jika setiap ruang kelas menjadi laboratorium persatuan, di mana anak-anak belajar menghargai, bersinergi, dan bekerja sama lintas identitas, maka kita telah menghidupkan ikrar itu.
Mari, pada tanggal 28 Oktober 2025 ini, kita jadikan ruang kelas sebagai pangkalan nyata persatuan bangsa.
Mari jadikan Sumpah Pemuda bukan hanya warisan sejarah yang kita baca sekali setahun, tapi napas yang mengalir dalam setiap proses pendidikan anak-anak kita.
Dengan demikian, “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” bukan lagi sekadar slogan, melainkan kenyataan yang hidup di antara kita.
(Rls)


