D alam perjalanan hidup, manusia selalu berhadapan dengan cinta, sebuah anugerah yang tak berwujud, tetapi nyata dalam setiap hembusan nafas. Hanya “Hati emas” yang benar-benar memahami hakikatnya. Banyak yang mengira bahwa cinta adalah milik mereka, padahal cinta adalah amanah, bukan kepemilikan melainkan titipan.
Mencintai bukan sekadar rasa yang hadir tanpa sebab, melainkan sebuah perbuatan yang membutuhkan keikhlasan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman lebih mencintai Allah (di atas segalanya)”
(QS. Al-Baqarah: 165)
Mencintai berarti berbuat, berkorban, dan memberi tanpa pamrih. Ia seperti matahari yang menerangi bumi tanpa menuntut balasan. Seorang ibu yang terjaga di malam hari demi anaknya, seorang sahabat yang tetap ada di saat sulit, seorang mukmin yang bersujud di sepertiga malam, semua adalah bentuk mencintai yang sejati.
Namun, jika mencintai tidak diiringi dengan keikhlasan, ia berubah menjadi belenggu. Banyak yang mencintai dengan cara menggenggam terlalu erat, hingga yang mereka cintai merasa sesak. Sebab, cinta yang dipaksakan bukan lagi anugerah, tetapi beban.
Maka, dalam mencintai, kita harus belajar seperti angin yang berhembus lembut, memberi kesejukan tanpa merantai, menghangatkan tanpa membakar.
Dicintai adalah nikmat yang tak bisa dipaksakan, tetapi hanya bisa diterima dengan syukur. Rasulullah adalah sosok yang paling dicintai, bukan karena beliau menuntut cinta, tetapi karena akhlaknya yang begitu mulia.
Banyak orang ingin dicintai, tetapi lupa bahwa dicintai adalah buah dari mencintai. Seorang yang berbuat baik akan dicintai manusia, sebagaimana seorang hamba yang ikhlas akan dicintai Allah.
Namun, jangan sampai kita terperangkap dalam keinginan untuk dicintai hingga lupa bagaimana cara mencintai. Jika seseorang hanya ingin dicintai tanpa mau berbuat, maka ia seperti tanah yang menuntut hujan tetapi enggan menyerapnya.
Cinta bukan sekadar kata, bukan sekadar janji. Cinta adalah perasaan yang bersemayam di hati, yang hanya Allah mampu menumbuhkan dan mencabutnya.
Cinta sejati adalah cinta yang tidak tergantung pada balasan. Cinta adalah kasih yang tidak berubah karena keadaan.
Dalam kisah para nabi, cinta sejati terlihat jelas. Nabi Ibrahim mencintai Ismail, tetapi tetap rela mengorbankannya demi perintah Allah. Nabi Ya’qub mencintai Yusuf, tetapi ia tetap bersabar dalam perpisahan yang panjang. Dan Rasulullah mencintai umatnya lebih dari seorang ibu mencintai anaknya, tetapi cintanya tidak mengikat dengan paksaan, melainkan membimbing dengan kelembutan.
Cinta yang sejati tidak membuat seseorang kehilangan arah, tetapi justru mendekatkannya kepada Sang Pencipta. Jika cinta menjauhkan kita dari Allah, maka itu bukan cinta, tetapi nafsu yang berbalut rasa.
Mencintai adalah usaha. Dicintai adalah anugerah. Dan cinta adalah fitrah yang harus dijaga.
Maka, jika engkau mencintai seseorang, jangan mencintainya lebih dari cintamu kepada Allah. Jika engkau ingin dicintai, jangan mencari cinta manusia lebih dari cinta Rabb-mu. Sebab, cinta yang abadi adalah cinta yang tak bergantung pada dunia, tetapi berlabuh di akhirat.
Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah;
“Ya Allah, anugerahkanlah aku cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkan aku kepada-Mu”
(HR. At-Tirmidzi)
Karena pada akhirnya, cinta yang sejati bukan yang mengikat di dunia, tetapi yang membawa kita pulang ke surga.
(Oleh:Supriadi Buraerah)