Majene, TARGETTUNTAS.ID – Sejumlah nelayan dari Rangas Tammalassu, didampingi Ketua DPD LP3K-RI Sulawesi Barat, Hasri Gandeng Daeng Pawuang, melakukan konsultasi dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Majene, Ir. Hj. Ichwanti, M.AP. Pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Kadis DKP Majene pada Kamis (13/2/2025) ini membahas agenda pembentukan Kelompok Nelayan Rangas Tammalassu dengan konsep berbasis nilai Sibaliparri.
Nilai Sibaliparri merupakan filosofi kebudayaan Mandar yang menekankan semangat kerja sama, saling membantu, serta berbagi tugas dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok nelayan yang akan dibentuk diharapkan berbeda dari yang sudah ada, karena anggotanya terdiri dari para pemilik kapal, bukan hanya nelayan pekerja.
Dukungan dari DPD LP3K-RI Sulbar
Ketua DPD LP3K-RI Sulbar, Hasri Gandeng Daeng Pawuang, menyatakan bahwa kelompok ini diharapkan mampu mengakses kebijakan pemerintah, termasuk program bantuan seperti sarana rompong (rumpon).
“Insyaallah agak berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Kelompok ini terdiri dari beberapa pemilik kapal, bukan hanya anggota sawi. Secara otomatis, jika ada kebijakan pemerintah seperti sarana rompong, maka manfaatnya bisa lebih luas dan digunakan oleh kapal-kapal nelayan yang tergabung,” ungkap Hasri.
Ia juga menyoroti permasalahan yang dihadapi nelayan saat ini terkait kelangkaan sarana rompong. “Saat ini, banyak nelayan yang harus menumpang di rompong milik orang lain. Jika pemilik rompong membutuhkannya, maka mereka harus melepas tali dan mencari tempat lain untuk melaut. Harapan kami, proposal bantuan ini bisa kami kawal hingga ke tingkat provinsi dan pusat,” tambahnya.
Kendala dalam Pembentukan Kelompok
Kepala DKP Majene, Hj. Ichwanti, menanggapi rencana ini dengan menjelaskan bahwa ada sejumlah persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam pembentukan kelompok nelayan, termasuk akta notaris dan pendampingan oleh penyuluh perikanan.
Namun, ia mengungkapkan kendala utama dalam proses ini adalah terbatasnya tenaga pendamping penyuluh yang kewenangannya berada di tingkat provinsi dan pusat. “Keterbatasan kita hari ini memang dari berbagai hal, termasuk tenaga pendamping penyuluh, karena mereka itu vertikal dan berada di bawah kewenangan Makassar dan pusat. Kami sudah beberapa kali berkoordinasi ke Makassar untuk menyampaikan kendala di lapangan, namun sampai hari ini belum ada respons dari mereka,” jelas Hj. Ichwanti.
Ia juga menambahkan bahwa pada tahun 2025, pihaknya akan memprioritaskan kelompok nelayan yang belum pernah menerima bantuan sebelumnya, sekaligus mengevaluasi kelompok yang kurang produktif.
“Untuk saat ini, pembentukan kelompok baru masih terkendala karena adanya aturan baru dari pusat. Kami sudah meminta daftar nama calon anggota kelompok baru, tetapi setelah diverifikasi, enam orang di antaranya ternyata sudah terdaftar dalam kelompok lain. Kami masih menunggu aturan resmi dari pusat terkait pembentukan kelompok nelayan ini,” tutupnya.
(Bahar)