
“Para tersangka terancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU serta Pasal 3 Jo 18 No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”
ACEH, TARGET TUNTAS.ID,– Di tengah harapan pemulihan pasca-konflik, Aceh kembali dihadapkan pada realitas pahit: lima individu, termasuk Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) berinisial S, ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Aceh pada 15 Oktober 2024. Kasus dugaan korupsi ini terkait pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah, yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat terdampak.
Dihimpun dari berbagai sumber, total nilai dugaan korupsi ini mencapai Rp 15,7 miliar, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) Tahun Anggaran 2023. Dalam konteks ini, Ali Rasab Lubis, Kasi Penkum Kejati Aceh, menjelaskan bahwa penahanan dilakukan setelah tahap II penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti. Proses ini mencerminkan keseriusan Kejati dalam memberantas praktik korupsi yang menggerogoti harapan masyarakat.
Kelima tersangka masing – masing inisial S, ZU, MU, MA, dan ZA, kini ditahan di Rutan Klas II B Banda Aceh selama 20 hari. Penahanan ini didasari kekhawatiran bahwa mereka akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Ancaman hukuman yang dihadapi mencakup pidana penjara hingga 20 tahun, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Di balik angka-angka ini, terdapat kisah masyarakat Aceh yang telah lama berjuang untuk bangkit dari keterpurukan. Pengadaan dana yang diharapkan menjadi angin segar, kini justru terjerat dalam praktik penyelewengan. Masyarakat, yang seharusnya menerima manfaat, kini merasakan dampak dari pengkhianatan kepercayaan oleh mereka yang ditugaskan untuk mengemban amanah.
Sebelumnya, berita mengenai kasus ini muncul dalam laporan Target 1 Tulisan dengan judul “Pengadaan Ikan dan Pakan Nilai Rp 15 Miliar ‘Kuak’ Fiktif” yang diterbitkan pada 18 Mei 2024. Dalam laporan tersebut, publik mengecam tindakan korupsi ini dan menyerukan agar para pelaku dihukum seberat-beratnya. Penyelidikan ini mengungkap bahwa dana yang seharusnya untuk membantu masyarakat Aceh Timur, justru disalahgunakan.
Kendati demikian, Ketidakpuasan publik terhadap pengelolaan anggaran ini semakin meningkat. Bagaimana mungkin mereka yang dipercayakan untuk memulihkan kehidupan masyarakat, justru menggerogoti hak rakyat? Pertanyaan ini menggema di tengah hiruk-pikuk kehidupan di Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah.
Kejaksaan Tinggi Aceh, dalam upayanya, terus mengumpulkan data dan bukti terkait dugaan korupsi ini. Ali Rasab Lubis menegaskan bahwa langkah ini penting untuk membawa kasus ke tahap penyidikan. Dengan penegakan hukum yang tegas, diharapkan keadilan akan ditegakkan dan masyarakat Aceh dapat menatap masa depan dengan harapan baru.
Penegakan hukum bukan sekadar respons terhadap tindakan kriminal, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai moral dan kepercayaan yang harus dipulihkan. Proses hukum ini diharapkan menjadi langkah awal dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini merupakan pengingat bahwa di balik setiap tindakan hukum, terdapat tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa dana publik digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan kesadaran kolektif dan keterlibatan aktif masyarakat, Aceh dapat mengatasi tantangan ini dan bergerak menuju masa depan yang lebih baik. (1Tulisan).
Berita Terkait: