MAKASSAR, TARGET TUNTAS.ID, — Pemanfaatan ruang laut di Indonesia seharusnya mengikuti prinsip keberlanjutan dan tata kelola berbasis regulasi yang ketat. Namun, di Makassar, muncul kejutan yang mengundang pertanyaan akademik sekaligus kritikan sosial. Sebidang laut seluas 23 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, diduga telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 2015. Bagaimana mungkin wilayah perairan yang seharusnya dikelola sebagai aset ekologi justru berstatus laiknya tanah daratan?. Pertanyaan publik tersebut disikapi oleh berbagai kalangan termasuk aktivis. Senin, 3 Februari 2025.
Komite Aktivis Mahasiswa Rakyat Indonesia (KAMRI) angkat bicara mengenai dugaan kejanggalan ini. Ketua Umum KAMRI, Marlo, menilai bahwa permasalahan ini bukan sekadar isu administratif, tetapi juga menyangkut aspek hukum tata ruang, lingkungan, dan hak akses masyarakat pesisir terhadap laut.
Dari sudut pandang regulasi, SHGB merupakan sertifikat yang diberikan untuk pengelolaan lahan di daratan. Adapun pemanfaatan wilayah perairan seharusnya mengikuti mekanisme perizinan melalui Rencana Kesesuaian Pemanfaatan Laut (RKPL) yang mendapat persetujuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta harus selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi.
“Jika benar SHGB diterbitkan untuk kawasan laut, ada dugaan kuat bahwa prosedur yang digunakan tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Regulasi tata ruang tidak mengizinkan perairan dikelola dengan skema yang diperuntukkan bagi lahan daratan,” kata Marlo kepada awak media targettuntas.id, melalui sambungan daring.
Dirinya menjelaskan bahwa, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemanfaatan ruang laut harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial. Dengan adanya SHGB di wilayah perairan, maka muncul dugaan bahwa ada celah regulasi yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
Sangat jelas, pemanfaatan laut untuk kepentingan privat berisiko merusak ekosistem pesisir, terutama jika dilakukan tanpa kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif. Perubahan fungsi ruang laut menjadi area komersial atau properti dapat mengancam keberlanjutan biota laut dan merusak ekosistem mangrove, lamun, serta terumbu karang di sekitar wilayah tersebut.
“Laut adalah aset ekonomi, dan ruang hidup bagi ekosistem yang menopang keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Jika pengelolaannya tidak mengikuti prinsip ekologis, dampaknya akan sangat luas ban besar,” ujar Marlo.
Selain dampak lingkungan, aspek sosial juga perlu mendapat perhatian. Masyarakat nelayan dan komunitas pesisir yang selama ini bergantung pada laut untuk mata pencaharian bisa terdampak jika ruang laut dikelola secara eksklusif. Konflik horizontal antara masyarakat dan pihak yang memiliki kepentingan ekonomi bisa saja terjadi, terutama jika akses masyarakat terhadap laut dibatasi.
“Jika dibiarkan seperti ini bisa memunculkan permasalahan sosial yang lebih luas. Bahkan, jika kawasan laut ini nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu yang menutup akses masyarakat, maka hak-hak ekonomi dan sosial bisa terancam,” jelasnya.
Melihat dugaan kejanggalan ini, KAMRI mendesak pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk menelusuri proses penerbitan sertifikat tersebut. Jika ditemukan adanya penyimpangan, Marlo menegaskan bahwa langkah hukum harus diambil demi memastikan pengelolaan ruang laut berjalan sesuai regulasi.
“Pemerintah harus transparan dalam memberikan informasi kepada publik. Masyarakat berhak tahu siapa yang menguasai kawasan ini dan bagaimana proses penerbitan sertifikatnya. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola ruang laut kita di daerah ini,” tegasnya.
Lebih luas lagi, fenomena ini membuka wacana akademik tentang bagaimana hukum tata ruang dan lingkungan harus dievaluasi agar tidak disalahgunakan. Peneliti kebijakan publik dan akademisi di bidang hukum lingkungan perlu ikut serta dalam menganalisis celah regulasi yang memungkinkan laut di kavling dengan skema kepemilikan laiknya daratan.
Saat ini, isu misteri kepemilikan dan legalitas kavling laut Makassar masih memuncak. (S).